Sabtu, 23 Mei 2009

Pekerja Kreatif Di Kota Kreatif


Dalam era ekonomi baru yang berbasis pengetahuan (new knowledge economy era) yang disebut juga era ekonomi gelombang keempat, keberhasilan ekonomi sangat ditentukan seberapa banyak pengetahuan-pengetahuan baru dihasilkan. Dengan demikian, peran para pekerja pengetahuan yang berketerampilan tinggi (highly skilled knowledge workers) sangatlah sentral, melalui kreativitasnya mereka menghasilkan inovasi-inovasi berupa kekayaan-kekayaan intelektual yang dihakciptakan.
Pekerja kreatif siap menjadi pencipta pengetahuan, mengaplikasikan, dan memanfaatkan pengetahuan baru tersebut di tempat kerja. Relevansinya tidak lagi diartikan sebagai aplikasi pengetahuan di tempat kerja melainkan tempat kerja itu sendiri sebagai tempat pembelajaran (learning site).
Kota-kota besar yang terbuka bagi pendatang bisa menjadi wilayah yang efektif bagi berfungsinya ekonomi kreatif. Bagi kota besar yang salah satu dari tujuan jangka panjangnya ingin menjadi kota kreatif, ketersediaan pasokan para pekerja sejenis itu dalam jumlah dan mutu yang tepat tidak bisa dielakkan. Sumber-sumber pasokan bakat-bakat kreatif bisa diperoleh melalui sumber internal maupun eksternal secara langsung (mencontoh klub-klub sepak bola lokal yang mengangkat pemain-pemainnya dari klub lokal dari kota, provinsi lain di dalam negeri bahkan luar negeri). Kota-kota urban yang besar memiliki daya gravitasi yang tinggi bagi orang-orang muda berbakat dari tempat-tempat lain untuk mencari pekerjaan, karier, dan hidup yang lebih baik.
Ciri-ciri pekerja jenis ini profesional, mobilitas tinggi, suka suasana kota yang toleran, multibudaya, terbuka pada pendatang dan ide-ide baru, suka atmosfer kerja yang kondusif, berpenghasilan relatif tinggi, keberadaannya meningkatkan produktivitas dan inovasi sehingga menjadikan industri kreatif bertumbuh kembang dan memberi kontribusi berarti pada pertumbuhan ekonomi kota. Dengan kata lain, pengelola kota perlu menyambut positif kehadiran pendatang jenis ini (brain gain) dan mempertahankannya agar tidak terjadi brain drain, sebagaimana dicontohkan negara kota, Singapura, yang sangat membutuhkan pasokan wirausaha-wirausaha inovatif muda. Beberapa tahun lalu, Singapura memasang iklan dalam surat kabar kita edisi bahasa Inggris. Singapura mengundang bakat-bakat muda Indonesia untuk menjadi warga negara asalkan memiliki konsep bisnis yang kuat dan dituangkan dalam rencana bisnis yang komprehensif. Contoh agresif lainnya adalah iklan dari televisi ABC yang mengundang orang muda dari negara mana pun untuk berimigrasi ke kota Adelaide, Australia Selatan sebagai wirausaha inovatif dan mengiming-iminginya dengan menjanjikan kemudahan-kemudahan dan dukungan-dukungan yang menggiurkan.
Daya tarik lain dari kota-kota besar bagi pendatang muda dari daerah-daerah lain adalah keberadaan universitas, politeknik, dan institut yang secara tidak langsung mendukung pengadaan calon-calon pekerja berpengetahuan dan berketerampilan tinggi masa depan. Keanekaragaman subbudaya (diversity), toleransi, dan keterbukaan pada orang dan ide baru adalah merupakan atmosfer akademik perguruan tinggi yang seiring sejalan dengan karakteristik kota kreatif dan menjadi kriteria evaluasi pemilihan lokasi oleh pekerja kreatif.
Pengelola kota sebaiknya berkolaborasi dengan perguruan tinggi setempat dalam kerangka hubungan kemitraan strategis secara bersama-sama membangun industri kreatif di wilayahnya. Perguruan-perguruan tinggi melalui tri dharmanya bisa memfokuskan perhatian pada penyiapan wirausaha-wirausaha inovatif. Bahkan dimungkinkan bagi perguruan tinggi membuka program-program studi baru dalam rangka menyiapkan tenaga-tenaga profesional yang akan dibutuhkan sektor-sektor ekonomi industri kreatif. Industri kreatif sebetulnya cocok bagi wirausaha-wirausaha inovatif muda alumni segar dari perguruan-perguruan tinggi untuk mengawali kariernya di dunia nyata. Namun, berdasarkan data dari Ditjen Dikti, lebih dari 80% lulusan S-1 memilih bekerja dan hanya 4% yang memilih memulai usaha. Kenyataan ini juga diperkuat oleh temuan riset yang disponsori Ditjen Dikti yang menyimpulkan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang malah semakin rendah kemandiriannya. Bisa dimengerti mengapa lulusan perguruan tinggi kurang tertarik karena berkarier sebagai wirausaha menuntut kemandirian yang tinggi. Kenyataan yang memprihatinkan ini menjadi pekerjaan rumah berat yang harus diselesaikan perguruan tinggi.
Profil pekerjaan di era ekonomi pengetahuan akan berbeda dari era-era ekonomi sebelumnya. Yang lazim adalah para pekerja kontrak yang fleksibel dan mobile, self-employed, dan freelances; semakin meluasnya usaha-usaha mikro dan kecil karena terjadinya penciutan skala usaha oleh perusahaan-perusahaan besar (downsizing), praktik-praktik subkontrak oleh perusahaan-perusahaan skala besar; spesialisasi-spesialisasi operasi/produksi yang mengonsentrasikan diri untuk menghasilkan suatu jenis barang atau jasa tertentu. Karena prospek industri kreatif ini menjanjikan kesempatan kerja, kekayaan, pertumbuhan ekonomi wilayah, pengurangan kemiskinan, dan keseimbangan karier dan rumah tangga maka agar perguruan-perguruan tinggi tidak dipersepsi oleh masyarakat sebagai over promised under delivered, pembelajaran life skills seperti pendidikan kewirausahaan inovatif ini harus lebih digarap serius.
Dalam era otonomi daerah sekarang ini, lebih dari 400 kabupaten/kota, dan sekitar 33 provinsi yang tersebar di seluruh Indonesia menikmati sistem desentralisasi kewenangan dalam mengelola wilayahnya. Mereka bebas memilih menjadi apa saja, termasuk menjadi kota kreatif karena keberadaan faktor-faktor produksi fisik yang konvensional dan tenaga kerja murah yang berketerampilan rendah sudah tidak bisa lagi menjadi andalan dalam era ekonomi baru ini. Mereka perlu melakukan audit lingkungan untuk menganalisis ancaman, peluang, kekuatan, dan kelemahan yang dimilikinya, dan mengadakan analisis celah yang selanjutnya akan ditutup melalui rencana strategis (renstra) atau road map, sehingga memiliki peta yang jelas--melalui sektor-sektor industri kreatif yang daya saing kotanya akan dibangun.
Menurut Richard Florida, pengarang buku The Creative Class Theory, keberhasilan untuk menjadi kota kreatif ditentukan oleh tiga faktor yang disingkat dengan 3T, yaitu talenta, toleransi, dan teknologi. Faktor talenta meliputi aspek pekerja kreatif, aspek budaya meneliti, dan aspek modal SDM. Sebagaimana kreativitas adalah jantungnya inovasi, maka pekerja kreatif menentukan kelangsungan industri kreatif. Dia membagi para pekerja ke dalam dua kategori utama, yaitu pekerja kreatif (creative class) di satu pihak, dan pekerja biasa (working class): pekerja di bidang pelayanan dan pekerja di bidang pertanian di lain pihak. Semakin tinggi proporsi pekerja "inti superkreatif", semakin tinggi kinerja ekonomi industri kreatif dari kota kreatif. Akan tetapi, dia juga mengingatkan, sekalipun pekerja kreatif adalah pengendali pertumbuhan utama, kelas-kelas pekerja lain juga dibutuhkan.
Faktor toleransi meliputi aspek sikap, aspek nilai, dan aspek ekspresi diri. Aspek sikap dinilai dari sikap terhadap minoritas, keterbukaan terhadap orang-orang yang asalnya berbeda, kesempatan pekerjaan yang tersedia bagi warga bukan putra daerah. Aspek nilai diukur dari sejauh mana nilai-nilai tradisional asli daerah bisa hidup berdampingan secara harmonis dengan nilai-nilai modern dan sekuler. Aspek ekspresi diri diukur dari sejauh mana suatu kota menghormati hak-hak individu dan kebebasan mengekspresikan dirinya. Semakin terpenuhi "3T" secara memuaskan semakin mimpi menjadi kota kreatif menjadi kenyataan, dan semakin siap kota tersebut untuk menjadi kota kreatif.*** (23 Mei 2009)

Sumber :
Tjetjep Djatnika,  dosen Politeknik Negeri Bandung (Polban).
23 Mei  2009
Sumber Gambar:

3 komentar: